This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

Laman

Mimpi Bunga 5

“Celeste, aku pamit dulu. Kue mu enak. Aku harap kamu bisa membuatkan kue yang lain. Baik-baik ya Celeste.” Ia berkata seraya menepuk-nepuk rambutku. Ia mungkin sedang sakit, menganggapku seperti kanak-kanak yang rambutnya bisa dibelai.
“Sudahlah, pergi sana. Aku juga tidak akan merindukanmu, Biyan.” Kataku dingin. Biyan hanya tertawa mendengarnya. Ia pasti menyangka aku hanya bercanda. Sejenak kemudian Biyan sudah tidak ada dalam jangkauan mata.
Biyan aneh, ia laki-laki brengsek dan aku membencinya seperti aku benci makan daging hewan berkaki empat. Seenaknya saja mendekat padaku, bersandar padaku tanpa bertanya apakah aku mau menjadi temannya. Tapi toh nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak bisa membalik waktu, aku tidak bisa pura-pura tidak mengenalnya lagi, aku telah terikat dengannya.
Dalam mitologi Cina, seseorang berjodoh karena terikat oleh benang merah. Dewa jodoh mungkin telah mengikat kami dengan benang itu, tanpa aku tahu seberapa erat, dan seberapa kuat ikatannya. Andai aku bisa, aku ingin sekali memutus benang itu sekali gigit. Tapi, aku juga menemukan hal lain bahwa benang jodoh itu sewaktu-waktu bisa berubah jika kau sedikit berusaha mengubah takdirmu.
Lain Cina lain Jepang. Kepercayaan kuno menyebutkan bahwa perempuan mengendalikan dunia, kehidupan, melalui serangkaian ikatan benang. Hidup matimu di tangan perempuan kalau begitu. Juga, bahagia dan menderita disebabkan kendali perempuan. Berdasarkan mitos atau bukan, aku sangat percaya bahwa dunia memang benar-benar dikendalikan oleh perempuan.
Tapi, sejauh ini aku tak bisa mengendalikan hubunganku dengan Biyan. Aku sedikit putus asa menghadapi kenyataan. Apakah ini terlalu sepele menurutmu untuk dipikirkan? Bukankah banyak hal lain yang harus diperhatikan? Apakah aku hanya hidup untuk Biyan semata?
# # #
Biyan pulang kemarin, aku sudah tahu. Ia menemuiku kemarin, aku juga bahagia. Tapi, apakah aku lebih bahagia jika aku benar-benar terpisah dengan Biyan? Aku tak bisa menjawabnya.
Bulan Mei ini, Biyan pulang bukan untukku. Bukan untuk orang tuanya, bukan juga untuk dirinya, tapi untuk gadis idola baru yang ia incar. Meski Biyan tidak mengatakannya terus terang, tapi aku bisa membaca lewat perilakunya. Kau pikir, sudah berapa lama aku berteman dengannya?
Ia tidak pernah berkata padaku bahwa ia menyukai gadis itu. Aku harap bukan karena ia takut menyinggungku yang sudah sekian lama menjomblo. Ia hanya pernah mengatakan bahwa ia suka gadis yang begini begitu, sesuai tipenya dan bla bla bla seperti yang semua laki-laki inginkan. Tapi itu bukan diriku, tentu saja, karena aku tidak pernah berharap menjadi gadis tipe seseorang. Aku adalah diriku seutuhnya. Dari obrolan ngalor ngidul aku sudah dapat membayangkan gadis seperti apa dalam benaknya. Dan gadis itu adalah Shira, teman sekelasku.
Shira bukanlah gadis yang buruk, dan ia juga bukanlah gadis yang sempurna. Aku menolak mengatakan bahwa aku cemburu padanya dengan menyebutkan ia gadis yang tidak sempurna. Buka itu maksudku. Shira punya pesonanya sendiri yang bisa menyihir kami, teman-teman perempuannya, juga laki-laki yang lain. Entah mengapa ia terlalu terlihat fotogenik di mata orang-orang. Padahal ia merasa biasa-biasa saja. Kadangkala memang setiap tindak tanduknya selalu diawasi berpasang-pasang mata. Shira adalah apel merah kami!
Sejauh yang aku tahu, Shira bukanlah gadis yang mudah akrab dengan laki-laki, apalagi dengan orang yang tidak ia kenal. Tapi ia punya hormon keingintahuan yang lebih besar terhadap senior laki-laki, atau laki-laki yang lebih tua aku menyebutnya dengan kasar. Ia tak tertarik dengan laki-laki seumuran dengannya, apalagi juniornya. Karena itu, aku bisa menebak bahwa sedikitnya Shira punya ketertrikan akan Biyan. Dan sialnya Biyan juga tertarik padanya.
Pada bulan Mei yang mendung ini aku baru ingat bahwa ada sebuah perhelatan yang lumayan besar akan terjadi. Pesta ulang tahun Shira. Oh, apa aku terlalu berlebihan? Shira tidak datang dari keluarga konglomerat tembakau, tapi ia punya cukup kuasa untuk menggelar sebuah pesta ulang tahun ala prom nite. Sepertinya semua orang yang ia kenal diundang, termasuk aku, mungkin juga Biyan. Sebelumnya aku sudah memprediksi bahwa Biyan jauh-jauh datang dari luar kota hanya untuk menghadiri ulang tahun Shira.
Sebelum Biyan pulang dari rumahku kemarin, ia dengan ringannya menawarkan bantuan untuk mengantarku ke pesta ulang tahun Shira. Sebagai perempuan, aku sudah tahu bahwa ia sesuangguhnya ingin (dan memang ia akan) datang ke sana. Padahal tadinya kukira ia tak tertarik dengan pesta-pesta anak perempuan. Tapi, sudahlah, aku tak masalah, aku tak akan cemburu.
Sebelum aku benar-benar mengeluarkan ekspresi cemburu, Biyan sudah mewanti-wanti lewat sambungan telpon agar aku membantunya menarik perhatian Shira. Ah, akhirnya ia mengatakannya juga. Aku tak bisa apa-apa saat itu meski kurasakan tanganku melemah dan jantungku berdetak cepat sekali. Aku hanya mengatakan aku bisa membantunya sebagai teman baik dan sama sekali tak keberatan.
Aku menutup telpon dari Biyan secepat yang aku bisa, agar aku tidak berteriak histeris, atau diam membisu berkepanjangan sementara ia menghabiskan pulsa untuk menghubungiku. Saat itu jantungku sudah berdetak normal, namun dadaku terasa sesak sekali padahal tidak punya riwayat asma. Aku memandang cermin rias lama sekali, kesal. Aku masih menolak mengatakan bahwa aku cemburu, jealous, atau apalah itu namanya. Aku meyakinkan diriku bahwa aku adalah seorang sahabat perempuan yang baik. Jika Biyan bahagia, maka akupun turut bahagia. Titik.

0 komentar: