This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

Laman

Penelitian Computer Based Learning


Pendahuluan
Mary Alice White (1987) mengutarakan bahwa “what we need to do, then, is to educate as tough this technological revolution is what it really is—the third learning revolution—the most important change in learning since the 16th Century”. Tidak berlebihan rasanya jika adanya revolusi dalam belajar dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang banyak menarik perhatian khalayak dalam dunia pendidikan pada abad ke 20 adalah kemunculan komputer.
Komputer adalah alat yang dipakai untuk mengolah data menurut perintah yang telah dirumuskan. Memang, fungsi komputer adalah untuk mengolah informasi, baik itu yang bersifat matematis maupun nonmatematis. Komputer awalnya memang menarik perhatian, tapi komputer generasi pertama (era 1940an) penggunaannya baru sebatas untuk tujuan militer atau intelejen. Ini terkait dengan situasi politik pada perang dunia II. Butuh biaya yang sangat besar untuk mempunyai komputer, dan juga diperlukan ruangan khusus sebagai tempat mesin komputer itu sendiri. Pada era 1948an, komputer generasi kedua muncul yang dimotori oleh penemuan transistor. Dengan ditemukannya transistor, ukuran mesin komputer menciut sehingga biaya manufakturingnya murah. Komputer jadi semakin affordable. Karena itu komputer mulai merambah institusi lain di luar pemerintah dan mulai digunakan juga di universitas. Komputer juga sudah terhubung dengan printer, dan media penyimpan data eksternal disket.
Kembali ke topik revolusi belajar, kita tahu bahwa teknologi pendidikan merupakan disiplin yang selalu jeli memandang perkembangan zaman dan teknologi. Selalu akan ada peluang bahwa teknologi bisa dimanfaatkan untuk tujuan ‘belajar’. Dan, mulailah diadakan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan komputer dalam dunia instruksional.
Penelitian berkaitan dengan penggunaan komputer dalam pendidikan pada akhir abad 20 nyatanya melalui proses yang lumayan panjang. Ada beberapa tahap yang harus dilewati, dengan berbagai hasil penelitian dan kritik yang menyertainya. Dalam masa-masa itu peneliti berupaya menemukan makna relasi komputer dan fasilitasi belajar. Seiring dengan penelitian-penelitian tersebut, beragam istilah yang berhubungan dengan penggunaan komputer dalam pendidikan muncul. Misalnya CAI (computer assisted learning), CBI (computer based instruction), CBL (computer based learning), CBE (computer based education), dan CAL (computer assisted learning). Penelitian tentang penggunaan komputer dalam pendidikan disebut-sebut sebagai penelitian CBL. Lalu, berbagai pertanyaan kemudian menyeruak. Apakah istilah-istilah lain (CAI, CBI, CBE, CAL) berbeda dengan CBL? Apakah istilah CBL memang pantas disematkan untuk mewakili ladang  penelitian ini? Lalu, bagaimana penelitian CBL ini kemudian berjalan?
Pembahasan
Terdapat perbedaan pengertian pada terminasi CAI, CBI, CBL, CBE, CAL. Berikut ini merupakan penjabarannya.
v  CAI (computer assisted learning)
CAI dikonotasikan sebagai pendekatan belajar terprogram yang tujuan pendidikannya diraih melalui pengajaran langkah demi langkah. Seringkali CAI diartikan sebagai komputer yang menyampaikan informasi pada siswa. CAI menuntun siswa untuk menggunakan komputer di kelas baik dalam hal tutorial software maupun drill and practice.
v  CBI (computer based instruction)
CBI (Computer based Instruction) adalah sebuah pembelajaran terprogram yang menggunakan komputer sebagai sarana utama atau alat bantu yang mengkomunikasikan materi kepada siswa. Banyak yang menyamakan metode CBI dengan CAI (Computer Assisted Instruction) padahal sebenarnya metode tersebut merupakan 2 buah metode yang berbeda. Perbedaan yang mendasar terdapat pada penggunaan multimedia belajarnya. Pada CAI peran guru tidak semuanya dihilangkan dan komputer hanya beperan sebagai pendamping guru dalam menyampaikan materi, tidak halnya dengan CBI pada CBI komputer menjadi pusat pembelajaran (center of learning) dimana siswa berperan lebih aktif dalam mempelajari suatu materi dengan media utama komputer.
v  CBL (computer based learning)
CBL merupakan istilah yang menjelaskan segala aktifitas belajar siswa yang terkait dengan penggunaan komputer. Istilah ini dikenali secara umum karena situasi belajar menggunakan komputer dalam CBL, komputer tersebut digunakan sebagai alat pendidikan, tapi tidak mengantarkan informasi maupun mengajar siswa. CBL lebih pada istilah umum tentang aplikasi komputer di sekolah.
v  CBE (computer based education)
Computer based education merujuk pada penggunaan komputer sebagai acuan utama dalam pendidikan. Pendidikan ini dalam arti luas, berbeda dengan istilah pembelajaran dan pengajaran yang berarti sempit. Pendidikan di sini dapat merujuk pada level-level dalam pendidikan, misalnya SD, SMP, Universitas, dsb.
v  CAL (computer assisted learning)
Menurut Martiningsih (2007) computer assisted learning (CAL) yaitu pembelajaran yang menggunakan alat bantu utama komputer. Misalnya, penggunaan komputer untuk mempresentasikan materi belajar, tutorial dan umpan balik kemajuan belajar siswa. CAL ini juga  sebagai bagian integral dalam sistem pembelajaran terhadap proses belajar dan mengajar yang bertujuan membantu siswa dalam belajarnya bisa melalui pola interaksi dua arah melalui terminal komputer mau pun multi arah yang diperluas melalui jaringan komputer (baik lokal mau pun global) dan juga diperluas fungsinya melalui interface (antar muka) multimedia.
Istilah CBL lebih sesuai untuk mewakili ranah penelitian penggunaan komputer untuk pendidikan. Dari istilahnya saja, computer based learning, segala sesuatu yang berkaitan dengan belajar dengan penggunaan komputer sebagai acuan utama, sudah meliputi berbagai istilah-istilah lainnya yang mempunyai pengertian lebih spesifik.
Tahap-tahap penelitian CBL
Penelitian awal
Pada penelitian awal CBL, kajian sengaja difokuskan pada ‘komputer’ sebagai variabel independen dan komputer sendirian dianggap dapat mempengaruhi proses belajar. Clark (1985) menungkapkan bahwa penelitian awal tentang CBL mengulangi kesalahan yang sama seperti pada penelitian awal perbandingan media. Kesalahan yang paling terlihat selain komputer sebagai variabel independen, juga kekurangtepatan alat ukur atau variabel pengukuran outcome dari suatu penelitian. (Haechan, Baker, 1989; Rebok, 1989; Shoenfeld, 1985).
Penelitian Lanjutan
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, maka untuk perbaikan pada penelitian CBL selanjutnya para pakar membuat kategorisasi untuk CBL yang akan mempermudah dalam proses penelitian. Simonson & Thompson (1990) mengklasifikasikan aplikasi komputer berdasarkan tipe software, yaitu:
1.       Drill & practice
2.       Computer tutorial.
3.       Simulation
4.       Problem solving. Didesain untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar dan menggunakan kemampuan problem solving. Akan tetapi alat ukur yang digunakan hanya menilai konten pengetahuan, bukan kemampuan problem solving itu sendiri.
5.       Tool Software. Sheingold, Hawkins, & Kurland (1984) menyatakan tool software digunakan untuk meningkatkan pengajaran dan proses belajar di semua area subjek. Nyatanya sedikit sekali bukti empirik yang dapat membuktikan hal itu.
6.       Computer manage instruction (CMI). Banyak pendidik menyarankan CMI sbg langkah pertama dalam proses pendidikan oleh guru.
Kategorisasi kedua diutarakan oleh Robert Taylor (1990). Ia menekankan bahwa komputer dapat digunakan sebagai 1) tutor, 2) alat/tool, 3) tutee. Konsep komputer sebagai tutee merupakan hal yang baru dan membutuhkan penjelasan. Taylor mengemukakan siswa dapat mengajar komputer menjadi tutor atau alat.
Kategorisasi ketiga yang cenderung disebut taksonomi dikemukakan oleh Rex Thomas dan Peter Boysen. Pada sistem kategorisasinya, program yang sama pada CBL bisa diklasifikasikan pada area yang berbeda tergantung pada bagaimana guru menggunakan program dalam pengajaran.
1.       Termed experiencing
2.       Termed informing
3.       Reinforcing programs
4.       Integrating programs
5.       Utilizing
Sistem kategorisasi Thomas dan Boysen mencoba membangun respek pembelajar terhadap materi atau program dalam CBL. Hingga mislanya dapat memunculkan pertanyaan: apakah simulasi lebih baik digunakan pada level experiencing ataukah pada level integrating?
Kategorisasi terakhir diungkapkan oleh Dede (1987). Ia berpendapat di masa depan software pendidikan akan dapat mempunyai ‘peningkat kognisi’ yang memungkinkana manusia meningkatkan kognisinya melalui aplikasi komputer. Peningkat kognisi yang dimaksud adalah:
1.       Empowering environment
2.       Hypermedia
3.       Microworlds
Semua sistem kategorisasi yang diajukan pakar membantu menyediakan arah secara spesifik tentnag variabel independent dalam penelitian CBL. Tentu, semua sistem kategorisasi mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Penelitian meta-analitik
Penelitian meta-analisis didesain untuk meringkas dan mensistesis penemuan penelitian dalam area penelitian tertentu. Kulik, Bangert dan Williams menyelesaikan tiga penelitian meta-analitik yang cukup luas mengenai CBL (Kulik saja) dan CBE di sekolah. Kulik menyimpulkan bahwa pendekatan komputer sangat efektif untuk siswa SD dan juga efektif untuk mahasiswa. Ia juga menyimpulkan bahwa pendekatan CBL dapat meningkatkan hasil belajar siswa, menghemat waktu guru dan siswa, meningkatkan sikap (respek) terhadap sekolah dan subjek tertentu. pendapatnya ini sering dianggap sebagai rujuakan bahwa pendekatan CBL memang benar-benar efektif.
Kelemahannya, metodologi yang Kulik gunakan banyak mendapat kritikan. Terutama karena penelitian yang Kulik review diadakan sebelum mikrokomputer menyebar secara luas di sekolah-sekolah. Penelitiannya seharusnya terkait dengan situasi saat mikrokomputer sudah menyebar dan digunakan secara luas di sekolah.
Setelah Kulik, MD. Robyler (1988)  mengemukakan penelitian yang menyempurnakan hasil penelitian dari Kulik sebelumnya. Ia menyebutkan bahwa aplikasi komputer memang efektif untuk mengajar matematika daripada mengajar membaca dan keterampilan bahasa. Hasil penelitiannya yang lain, ia menyimpulkan bahwa efek penggunaan komputer sangat tinggi pada mahasiswa dan sangat rendah pada siswa SMP. Hal ini berarti bahwa CBL akan sangat efektif bila diterapkan pada mahasiswa. Selain itu, ia mengemukakan terdapat perbedaan keefektifan penggunaan komputer pada perempuan dan laki-laki.
Kelemahan dari penelitian Kulik dan Robyler, penelitian yang mereka review rata-rata masih menggunakan variabel pengukuran yang berdasarkan ‘pengukuran prestasi berstandar’/standardized achievement measures yang sempat dikritik di awal-awal penelitian CBL. Di sisi lain, penelitian yang berfokus pada efek atribut tertentu dan penggunaan komputer pada outcome siswa tertentu, sulit dikombinasikan dan dianalisis.
Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif melaporkan ‘apa yang ada’ pada penggunaan komputer di sekolah telah menyediakan pengetahuan/wawasan yang berguna.
Becker melakukan penelitian beberapa kali tentang CBL di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Pada Pada penelitian terakhirnya Becker menyimpulkan bahwa ‘pemrosesan kata’ merupakan aktivitas belajar komputer yang paling umum di sekolah-sekolah AS.
Selain Becker, penelitian deskriptif dilakukan oleh Office of Technology Assessment (OTA) in 1988. OTA melaporkan bahwa meskipun teknologi interaktif tidak bisa menyelesaikan masalah pendidikan di AS, teknologi tersebut tetap memberikan kontribusi pada peningkatan dalam hal belajar. OTA menganjurkan agar penelitian yang dibutuhkan terjadi dengan baik, kerjasama yang dekat antara berbagai anggota komunitas penelitian dan ‘ruang kelas’ harus difasilitasi.
Pada isu desain CBL, Criswell (1989) mengungkapkan banyak peneliti berfokus pada pencarian titik paling efektif dalam mendesain pengalaman CBL untuk  siswa. Antarmuka siswa-komputer merupakan salah satu keunikan dari CBL. Penelitian mengenai monitor komputer juga dilakukan, termasuk oleh Galitz (1981).
Saran
Setelah melewati beberapa tahap dalam penelitian CBL, ada beberapa saran yang dikemukakan para peneliti sehubungan dengan kelemahan penelitiannya. Berikut merupaka beberapa anjuran tersebut:
1.       Penelitian lanjut pada efek pemrograman pengalaman dalam pengembangan keterampilan problem solving siswa.
2.       Penelitian lanjut penggunaan komputer dalam pengajaran menulis
3.       Penelitian lanjut pada simulasi dan microworlds untuk mengajar keterampilan problem solving yang lebih tinggi.
4.       Penelitian lanjut penggunaan alat untuk meningkatkan tugas belajar
5.       Penelitian lanjut pengembangan kurikulum baru dalam belajar bagaimana belajar.
Bagaimanapun, saran yang cukup relevan dengan keadaan saat ini adalah saran 3, 5. Saat ini, dengan kemajuan teknologi dan taraf pendidikan yang tinggi, serta globalisasi,  keterampilan problem solving yang tinggi sangat dibutuhkan. Karena itu, saran 3 sangat relevan. Sementara itu, saat ini tren dalam pendidikan adalah how to learn, sebagai upaya untuk mencetak output pendidikan yang bisa survive dan mandiri di tengah persaingan global, juga terhadap gonjang ganjingnya kurikulum di indonesia, maka saran no 5 juga relevan. Sementara itu saran yang lainnya terasa trivial jika dibandingkan dengan keadaan saat ini.


Daftar Pustaka
Thompson, A. D.,  Simonson, M. R. & Hargrave, C. P. 1992. Educational Technology: A Review of The Research. Washington: AECT
Riyanto,B. 2009. Pengembangan CAL ( Computer-Assisted Learning) untuk Pembelajaran Berpikir Matematika Tingkat Tinggi. Diakses dari http://bambangriyantomath.wordpress.com/2009/05/29 / renc ana-tesis/
Nugroho, I. 2010. Computer Based Instruction (CBI). Diakses dari http://indrockz.blogspot.com/20 1 0 /07/computer-based-instruction-cbi.htm
0 komentar

TPers dan Kategori Adopte


         Inovasi dan Kategori Adopter
Inovasi merupakan suatu gagasan/ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau kalangan tertentu. inovasi bisa lahir dari tangan siapa saja dan kapan saja. Tentu saja inovasi diciptakan dengan harapan dapat bermanfaat untuk memecahkan masalah. Inovasi juga lahir di berbagai bidang, khususnya pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, ada prodi khusus yaitu Teknologi Pendidikan yang tujuan mulia utamanya adalah memfasilitasi pembelajaran. Dengan kata lain teknologi pendidikan berupaya memecahkan masalah belajar, agar orang bisa belajar, entah itu dengan menggunakan cara tertentu, atau memanfaatkan sumber-sumber tertentu. selain itu, teknologi pendidikan juga selalu berupaya menghasilkan inovasi-inovasi di ranah pembelajaran atau pendidikan umumnya dalam rangka memudahkan orang untuk belajar. Apa saja inovasinya? Inovasi yang dihasilkan teknologi pendidikan tentu saja tak terhitung banyaknya. Tengoklah masa-masa awal penelitian media, hingga tren hypermedia. Dan kini ranah pembelajaran sudah menyentuh pada dunia berjaringan.
Bicara tentang inovasi, teknologi pendidikan sudah pasti harus bisa menghasilkan suatu inovasi, entah itu dengan cara discovery, invention, atau bahkan ATM, amati, tiru dan modifikasi. Menghasilkan inovasi saja tidak cukup. Inovasi harus ada yang mengadopsinya. Karena itu ada yang namanya difusi inovasi, serta para adopter yang mengadopsi inovasi. Para adopter ini dikategorikan secara khusus menjadi lima, yaitu innovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard. Namun, bagaimana dengan persepsi mahasiswa TP (TPers) sendiri mengenai pengkategorian ini? Jika mereka merupakan subjek dari suatu inovasi, kategori adopter mana yang sesuai dengan mereka pribadi?
Berikut ini merupakan hasil survey melalui internet review mengenai pendapat mahasiswa berkaitan dengan kategori adopter.
Tabel 1. TPers dalam Kategori Adopter

Dari tabel di atas tentang kategori adopter dari TPers, 10 orang adalah innovator. Delapan orang adalah early adopter, 10 orang early majority, dan 2 orang adalah late majority.


Grafik 1. TPers dalam Kategori Adopter

Dari grafik di atas tentang kategori adopter dari TPers, 10 orang adalah innovator. Delapan orang adalah early adopter, 10 orang early majority, dan 2 orang adalah late majority.


Grafik 2. TPers dalam Kategori Adopter

Dari diagram  di atas tentang kategori adopter dari TPers, 33% orang adalah innovator. 27% orang adalah early adopter, 33%  orang early majority, dan 7% orang adalah late majority.

Tabel 2. Alasan TPers dalam Kategorisasi Adopter


Dari tabel di atas diketahui alasan-alasan TPers dalam kategorisasi adopter,yaitu 6 orang berpendapat TPers cepat menerima inovasi. 11 orang berpendapat TPers mampu menghasilkan inovasi khususnya untuk memfasilitasi pembelajaran. 9 orang berpendapat dalam mengadopsi inovasi membutuhkan kompromi dan kehati-hatian. 2 orang berpendapat mengadopsi inovasi setelah kebanyakan orang sudah mencoba dan mengadopsi inovasi, dan 2 orang berpendapat TPers sebagai adopter adalah pelopor yang memperhatikan keuntungan dan kerugiaan atas inovasi.


Grafik 3. Alasan TPers dalam Kategorisasi Adopter

Grafik di atas menggambarkan kuantitas dari alasan-alasan TPers dalam kategorisasi adopter.


Grafik 3. Alasan TPers dalam Kategorisasi Adopter

Dari diagram di atas diketahui alasan-alasan TPers dalam kategorisasi adopter,yaitu 20% orang berpendapat TPers cepat menerima inovasi. 37% orang berpendapat TPers mampu menghasilkan inovasi khususnya untuk memfasilitasi pembelajaran. 30% orang berpendapat dalam mengadopsi inovasi membutuhkan kompromi dan kehati-hatian. 7% orang berpendapat mengadopsi inovasi setelah kebanyakan orang sudah mencoba dan mengadopsi inovasi, dan 7% orang berpendapat TPers sebagai adopter adalah pelopor yang memperhatikan keuntungan dan kerugiaan atas inovasi.

TPers dalam Kategori Adopter
Berdasarkan data di atas, dapat kita ketahui bahwa TPers dalam memosisikan dirinya dalam kategori adopter sebagi berikut. 33% orang memilih menjadi innovator. 27% orang menganggap dirinya early adopter, 33%  orang memilih aman menjadi early majority, dan 7% orang menganggap dirinya late majority. Dengan demikian mayoritas TPers lebih memosisikan dirinya sebagai innovator dan early majority. Rogers dalam penelitiannya menjabarkan ciri-ciri dari tiap kategori adopter ini. Jadi, dapat kita bayangkan mengapa TPers ini berbeda-beda dalam mengkategorikan dirinya pada tipe-tipe adopter inovasi.
Sementara itu, diketahui alasan-alasan TPers dalam kategorisasi adopter,yaitu 20% orang berpendapat TPers cepat menerima inovasi. 37% orang berpendapat TPers mampu menghasilkan inovasi khususnya untuk memfasilitasi pembelajaran. 30% orang berpendapat dalam mengadopsi inovasi membutuhkan kompromi dan kehati-hatian. 7% orang berpendapat mengadopsi inovasi setelah kebanyakan orang sudah mencoba dan mengadopsi inovasi, dan 7% orang berpendapat TPers sebagai adopter adalah pelopor yang memperhatikan keuntungan dan kerugiaan atas inovasi.
Pada data sebelumnya terlihat jelas bahwa sebagian TPers mengkategorikan dirinya sebagai innovator, bila setelah lulus nanti dari prodi TP. Dan alasan yang paling jamak dalam pengkategorian adopter ini adalah TPers mampu menghasilkan inovasi, khususnya untuk memfasilitasi pembelajaran. Sebagai innovator TPers berpikir bahwa mereka setidaknya harus menghasilkan sebuah inovasi dalam rangka memcahkan masalah belajar. Padahal dalam kategori adopter menurut Rogers, innovator merupakan individu yang pertama kali menerapkan inovasi, fresh from the oven, terlepas apakah dia inventor dari inovasi itu ataukah bukan. Menurut Rogers lagi, seorang innovator berani mengambil resiko kegagalan atas inovasi yang diadopsinya, dan tentu ia lebih open minded dan dekat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Perbedaan mengenai pendapat TPers dalam mengkategorikan dirinya bisa disebabkan oleh hanya satu sebab, yaitu heterofilitas atau heterogenitas. Memang, TPers berada dalam jurusan yang sama, kelas yang sama, di ajar oleh dosen yang sama, tapi itu tidak berarti membuat mereka menjadi seragam dalam hal selera dan pikiran.  Dalam difusi inovasi sendiri dikenal istilah heterofili dan homofili. Hal yang paling menarik tentu saja heterofili. Meski orang-orang dalam heterofili berada pada wilayah/tempat yang sama, tetapi mereka mempunyai status sosial yang berbeda, latar belakang keluarga yang berbeda (semisal suku, ras agama), tingkat pendidikan yang berbeda, bahkan perbedaan kebiasaan. Hal-hal semacam inilah yang membuat difusi inovasi menarik. Imbasnya adalah adanya kategori-kategori adopter. Innovator, early adopter, early majority, late majority, laggard, punya kekhasannya masing masing. Perbedaan kategori adopter ini malah akan memudahkan dalam penyususna strategi difusi inovasi yang tepat.
Dengan demikian dalam hal TPers dan kategori adopter, dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, mayoritas TPers mengkategorikan dirinya sebagai innovator dan early majority seiring dengan kenyataan bahwa ia akan terjun ke masyarakat sebagai lulusan TP. Kedua, alasan yang paling sering diungkapkan tentang kategorisasi ini adalah TPers mampu menghasilkan inovasi khususnya untuk memfasilitasi pembelajaran, serta dalam mengadopsi inovasi membutuhkan kompromi dan kehati-hatian. Ketiga, adanya perbedaan pendapat di antara TPers mengenai kategorisasi adopter ini karena unsur heterofilitas pada tiap-tiap TPers.

0 komentar